Wednesday, April 15, 2015

Satu Kali Putari Matahari


Keceriaan keluarga ini makin terasa seiring bertambahnya usia si bungsu (sementara ini belum punya adik.. :D). Setiap ia mulai berdiri dan menunggu sorak dari Mas Damar, Bunda atau Yayah. Kemudian menjatuhkan badan di bantal atau kasur. Berulang-ulang ia lakukan itu.

Kemarin sekotak makanan dan kue kami pesan. Memang bentuk syukur tak harus membagi makanan. Namun, berbagi kebahagiaan ini lebih mudah dengan media yang satu ini. Adhek Linggar genap setahun 15 April ini.

Sebelum berangkat bertemu dengan klien, saya menyempatkan mengambil kue. Sedangkan nasinya akan diatar sore nanti. Bareng dengan kepulanganku. Nyonya besar sudah mewanti-wantiku supaya pulang tepat waktu. “InsyaAllah, Bune,” jawabku.

Rupanya seorang klien rempong menahanku untuk mengerjakan beberapa contoh desain sampai dia merasa cocok dengan keinginannya. Jam 16.30 kutunjukkan beberapa garapan. Alhamdulillah, klien senang. “Bune, aku baru mau pulang iki...” pesan singkat meluncur lewat jaringan seluler.

Sejam kemudian, menjelang adzan maghrib, baru tiba di rumah. Tumpukan kotak nasi dan kue tinggal plastiknya. “Lho, Bune, wis dibagi to?” tanyaku heran. “Sampun, Yayah.” Jawab si tuan putri. “Tadi dibantuin Mas Damar,” lanjutnya sambil melirik si sulung yang lagi nangkring di atas peti abon memperhatikan kami.

Gak bisa bayangkan, Bune nggendong Dhek Linggar, sambil dikinthili Mas Damar yang belum genap tiga tahun, bagi-bagi nasi ke para tetangga.

“Sori ya, Bune.... Tadi...”

“Para tetangga pada seneng, Yayah. Pipine Linggar diciweli sambil didoakan supaya jadi anak sholih,” tutur Bune.

Belum sempat berapologi, Bune sudah mulai menceritakan kisahnya hari ini. Seperti biasa, Bune selalu jadi pembuka dalam obrolan hangat keluarga kecil ini. Sambil ditimpali Mas Damar yang juga tidak mau kalah bercerita. Sedang Dhek Linggar paling langsung nggelendot di pangkuan sambil ngak..ngik... minta gendong.

Petang itu, cerita dipenuhi dengan kenangan setahun lalu

15 April 2014,
Saat hari itu dimulai dengan Bune dan Mas Damar jalan-jalan ke pasar. 200 meter bolak-balik cukup mengendurkan otot. “Mas Damar sama Bunda ya. Yayah nggak ikut,” ucapku. Menjelang detik-detik melahirkan Bune makin giat olah raga. Kalau nggak jalan-jalan ya senam di depan komputer sambil menirukan gerakan senam hamil “Ten Minutes Prenatal” yang kami download dari Youtube.

Pulang dari pasar Bune terlihat lelah. Saat ke kamar kecil dia memanggilku. “Yah, aku mulai ngeflek,” ucapnya. “Dipakai aktivitas yang ringan wae. Sambil nunggu perkembangan selanjutnya,” jawabku. Jadwal bertemu rekan kerja kuurungkan.

Ba’da dzuhur kontraksi kecil mulai terasa. Namun masih pelan, jaraknya pun masih sangat jarang. Ibu mertua yang semula akan datang besuk diminta berangkat hari ini. Bune belum berani melahirkan tanpa ditunggui ibunya. Alhamdulillah perjalanan dari Kediri lancar. Selepas ashar ibu mertua tiba.

Teput, adik perempuanku, seorang bidan yang cukup berpengalaman. Kami sangat senang dipandu jarak jauh dari Boyolali. Lewat telpon dia bilang, “Tenang wae, itu masih lama, ojo kesusu ke rumah sakit. Pokoke kalau kontraksi makin sering hubungi aku,” katanya mantap.

Menjelang isya’ segala keperluan telah disiapkan. Kontraksi semakin sering. Setiap Bune kesakitan Mas Damar menatap tegang. Mungkin di berpikir, Bunda sakit apa?

“Mas Damar sing pinter ya. Adhek sudah mau lahir. Mas nggak boleh nakal, nggak boleh rewel,” Bune berpesan pada si Sulung.

Dari Boyolali Teput terus memantau. “Saiki piye perkembangane?” tanya bidan lulusan Akbid Aisiyah Surakarta ini.

“Lumayan sering kontraksi, Te,” Jawab Bune.

“Saiki, coba dihitung. Kalo kontraksi wis 15 menit sekali langsung budal,” pesannya jelas. Pesan itulah yang kupegang jadi panduan. Namun satu hal luput diperhitungkan. Yaitu jarak rumah ke tempat persalinan. Sakjane Teput sudah mengingatkan soal jarak dan waktu perjalanan.

Memang aneh saat memutuskan untuk melahirkan di sebuah rumah sakit yang lumayan jauh dari rumah. Sekitar 13 km atau 40 menit jika jalanan lancar. Sementara beberapa rumah sakit lebih dekat.

Adalah dr. Candra. Seorang ahli kandungan yang sudah lama kami kenal sejak bekerja di LMI. Lima tahun lalu ia praktik di RS Wiyung Sejahtera. Sekitar 20 menit dari rumah. Ternyata kini beliau telah memiliki rumah sakit sendiri di Jambangan. Rumah Sakit Ibu dan Anak Cempaka Putih. Yang namanya sudah kadung sreg, ya kalau bisa tetap sama dr. Candra.

“Bune, kontraksinya sudah 15 menitan. Ayo berangkat,” ajakku.

Blue Bird langsung dipanggil, datang sepuluh menit kemudian. “Pak, antar kami ke Jambangan.”

Jam 21.30, saat para tetangga lelap dalam buaian bantal dan selimut, drama kami sedang dimulai.


Semoga doa-doa terus mengalir untuk kebaikan Linggar.

Wednesday, April 1, 2015

Sawang Sinawang

Menyimak lagi 3 Idiots, memang tidak salah apa yang dikatakan Farhan. Sudah menjadi naluri ketika melihat teman yang gagal kita akan merasakan sedih. Tapi akan lebih sedih ketika menyaksikan teman yang sukses. Perasaan manusia memang unik, absurd.

Sobat, semoga kita tidak termasuk orang yang dikatakan Farhan. Lalu masuk kategori yang manakah kita?Minggu lalu saya bertemu dengan seseorang yang tidak asing. Ia seorang juru parkir di sebuah pasar kecil di Simo. Sebuah kecamatan di pedalaman Boyolali, Jawa Tengah. Sudah lebih sepuluh tahun kami tidak bertemu. Terakhir mungkin saat pengumuman kelulusan SMA dulu. 

Ya, ia temanku sejak di SMP dan SMA, walau beda kelas dan tak terlalu akrab. Rohmat namanya. Namanya yang indah. Doa orangtuanya semoga terkabul.Sebenarnya bukan pertama kali aku melihatnya menjadi juru parkir di sana. Namun, sejak seorang teman, alumni SMA yang sama, menuliskan “Ngerti tapi gayane gak kenal” di grup FB, di situ saya merasa tersentil. 

Kali ini saya bertekad, akan saya sapa semua orang, apalagi jika saya mengenalnya. Termasuk Rohmat.Pasar tradisional adalah salah satu tempat terjorok di muka bumi. Apalagi di Indonesia saat musim hujan. Namun Rohmat tetap tampak bersemangat. Deretan motor dan mobil ia halau menuju tempat parkir yang kosong. Sesaat kemudian ia antarkan kendaraan-kendaraan itu menuju jalan, berebut tempat dalam kebisingan jalan. 

Seharian penuh ia lakukan rutinitas itu. Sambil sesekali ia duduk melepas penat menikmati panas matahari yang tertahan daun kersen.

Di lain kesempatan, saya semakin intens mengikuti grup FB teman-teman alumni SMA. Ada seorang teman yang di akun FB-nya penuh dengan foto-foto "surga". Berkat profesinya ia bisa berada di tempat-tempat yang bagi sebagian besar orang ingin sekali ke sana. Pantai dengan pasir putih yang indah. Pegunungan dengan kabut tipis yang sejuk. Makan malam dipayungi cahaya temaram. Menenteng tas belanja warna-warni di mall. Tampak bahagia mereka.

Ternyata kesimpulan Farhan tidak semudah itu. Farhan orang India, yang mungkin tidak mengenal filosofi orang Jawa, “sawang sinawang”.Tak ada profesi rendah, walau Rohmat tampak lelah. Karena rezeki halal dan baiklah yang ia cari sebagai nafkah. Toh manusia bekerja untuk bekal beribadah.

Di suatu ketika yang lain, seorang klien kerja saya men-delete fotonya di media sosial setelah puluhan teman berkomentar dengan berbagai ekspresi kekaguman. Hanya sebuah foto berisi seorang ibu dengan dua putrinya berpakaian rapi, putih, bersih, cantik. Alasannya mudah sekaligus rumit untuk dicerna. 

Ia tidak ingin dari sebuah foto saja mereka mengira hidup seseorang begitu mudah dan sempurna. “Saya bukan ibu yang sesempurna itu.”Mata manusia sangat mudah ditipu. Itulah mengapa don’t judge a book by its cover. 

Karena seindah-indahnya surga dunia, hanya sementara.