Monday, January 31, 2011

Ayam Panggang Sambal Salato


Jam 9.30 matahari baru terbit di rumah kami. Cahaya menyilaukan menyusup di sela-sela jendela. Beginilah akhir pekan. Teringat ide kemarin sore. Sarapan ayam bakar. Hmm... sedap dan nyaaaman... laii...

Dengan langkah yang dibikin mirip boys band yang lagi suting video klip, aku dan Ubet Markasan menyusuring gang. Menuju Pasar Karang Menjangan. Aroma khas bau badan yang menguar dari tubuh kami menambah indahnya pagi ini.

Sampai di TKP, rupanya sebagian pedagang sudah berkemas, siap pulang membawa uang. Untung saja satu dari tiga pedagang daging ayam masih setia menunggu pembeli kesiangan macam kami.

Sepuluh menit berpetualang di pasar, semua yang kami butuhkan kami dapatkan. 3/4 kg daging ayam, dua butir tomat, dua butir cabai merah, dua butir jeruk nipis, dua sacet merica, sejumput cabai rawit, sepuluh siung bawang merah, sekepal bawang putih.

Oke, sebuah menu agung faforit para dewa akan diciptakan hari ini. ''Bet, tunggu, ada yang kurang,'' kataku. ''Cari di warung dekat rumah saja,'' jawabnya. Untung ada mlijo di depan gang, sehingga jahe dan kunyit bisa kami dapatkan. Gratis lagi. Sebenarnya kami juga butuh serai, sayangnya itu baru teringat saat ada aroma yang kurang dari daging ayam dan bumbu diungkep.

Sampai di dapur, semua alat telah siap, kami pun beraksi. Ubet melembutkan bumbu yang sudah kami takar menggunakan palu. Sedangkan aku mencuci daging dan beberapa piring. Hari ini aku mendapati satu lagi kenyataan yang ada padaku. Ternyata aku tak tahan memegang daging mentah. Dingin, lembek, pucat, dan amis.
Soal meracik bumbu, mengungkep, dan membakar daging, serahkan padaku. Tapi kalau pegang daging mentah, aku menyerah.

Sejam daging diungkep. Seperempat jam daging dibakar. Selesai. Tapi, sambalnya...?!

Ubet berimprufisasi. Sebutir tomat dan cabai rawit yang tersisa ia lembutkan. Guyuran kecap mengakhiri sentuhan.

Sesi berikutnya hanya ekspresi syukur yang tergambar lewat suara umpatan nama-nama binatang dan sesekali nama tuhan.

Saturday, January 29, 2011

My Name Is Bagus Khan, I'am Not Tourist


Jalan ke sana, jalan kemari. Kalo lelah, istirahat. Kalo lapar, makan. Kalau hujan, berteduh. Kalo kebelet, ke belakang. Lapar lagi, makan lagi. Uang habis, kerja lagi. Bosan dan pengen main, jalan lagi. Indahnya hidup ini.

Perkenalkan, saya Bagus Khan, saya bukan turis, juga bukan artis, juga bukan teroris. Saya calon PNS. Sambil nunggu panggilan tugas negara, saya mengisi waktu luang dengan merintis usaha. PT Bagus Usaha Permai, itulah perusahaan masa depan saya. Selain itu, saya juga melakukan kerja iseng. Yaitu mengepalai kantor cabang sebuah lembaga multi kabupaten/kota di Jawa Timur
.

Begitu penting dan mobile-nya saya, Anda akan dengan mudah menemukan saya di acara makan gratis di kota Anda.

Sampai jumpa.

Trio Kwok-kwok


Di kala aku masih duduk di bangku SD, layar TV sering dipenuhi tiga anak kecil menyanyi dan menari, lucu dan bikin iri. Trio Kwek-kwek nama grup itu.

Dua puluh tahun berlalu. Trio penyanyi cilik itu sudah buyar. Namun di alam yang lain, dengan cara lain, berupa makhluk lain, Sebuah trio lain masih eksis. Coba menarik perhatian, meneruskan perjuangan, dengan sisa kobaran semangat.

Merekalah Trio Kwok-kwok. Tiga makhluk unik (untuk tidak mengatakan aneh) yang mengaku kece. Siap menggetarkan bumi dengan ajian pengusik gempa. Bumm...

Jika bumi berguncang dengan amplitudo antara 40 - 60 mm, segera carilah trio-merah-kuning-biru ini. Bisa jadi mereka akan memberi banyak informasi.

Salam.

Saturday, January 15, 2011

Zebi dan Aku


Entah sudah berapa abad sejak perjumpaan pertamaku dengan Zebi.

Awalnya, jaim, cuek, dan egois adalah gelar yang disematkannya padaku. Ya memang...

Sebaliknya, kuanggap Zebi aneh, berisik, labil, gak waras, lebai...

Namun seiring putaran bumi, ternyata kami jadi teman dekat. Rasanya baru kemarin. Dan besok dia akan pergi...

Ibukota akan memisahkan kami. Sampai jumpa di Taman Intan Nginden sepuluh tahun lagi...

Sunday, January 9, 2011

Kebuli Kebul-kebul...

Seporsi Nasi Kebuli siap santap

Tak sekidikit orang memuji nikmatnya nasi kebuli. Terlebih untuk yang satu ini. Beberapa pembawa acara kuliner dari TV lokal maupun nasional pernah mampir. Foto mereka berbaris di dinding kusam warung kecil yang berdiri di daerah Ampel Surabaya ini.

Lidahku memang Jawa tulen. Mencicipi masakan penuh bumbu dan rempah sudah biasa. Tak terlalu istimewa jika pada gilirannya masakan Arab mampir di mulut, dan menyentuh syaraf perasa di lidahku.

Biasa aja tuh... Kecuali nasi sarat rempah dengan kebul-kebul uap panasnya. Kecuali daging kambingnya yang lembut lepas dari tulang dan meleleh di mulut dan mengalir di kerongkongan. Kecuali kombinasi semua bahan yang dimasak dengan resep turun temurunnya. Kecuali suasana sederhana warungnya.

Ubet Markasan bilang mak nyus, enak, mantab bin lazis, sempurna. Karena dia yang traktir kubilang iya saja. Kuamini semua komentar bajakannya...

Pengawas Gendut


Sejak kembali dari Tanah Suci, jarang sekali Bu Pengawas Gendut menjenguk LMI. Sebulan ini kehadirannya bisa dihitung jari sebelah tangan. Memang sudah bukan kewajibannya lagi untuk ngantor tiap hari. Kini ia menjadi fulltimer mom bagi putra semata wayangnya, Prince Sidqi. Aku sebagai anak pungut terpaksa rela ditinggal pergi.

''Aku seneng sampeyan ke sini,'' kataku saat Bu Pengawas Gendut sowan ke padepokan LMI, Jumat minggu lalu.

''Halah..,'' sahutnya.

Kini aku sudah kangen lagi. Ingat sentilan-sentilannya yang sering ia layangkan lewat pesan pendek.

Seperti SMS dialog imajiner saat aku tak hadiri rapat.

Nrl: what the hell are you doin' overthere?
Ary: nothin' I just can't join that boring forum.
Nrl: you say "can't"? It means you're really arrogant. Still remember what our Messenger said?
Ary: well, let's see. Really sorry being snob this morning.

Lagi, saat aku mbolos tanpa kabar.

''Aslm, Ary. Masuk kan? Jam brp? Sakitkah dikau? Tentu tidak, kan? Siapa yg menyakitimu? Bukan aku, kan? Jam brp smp LMI?''

''Jadi km tidak k LMI hari ini? Kmana manusia baru itu? Apa ia telah bereinkarnasi? Oh, malangnya.''

''Oh, hijrah juga dia? Ah, pejuang kita terlalu cepat kalah.., bahkan tdk punya nyali utk menghadapi perang yg jauh lebih hebat dari Perang Badar. Bersembunyilah di bunker barumu. Temukan hidup 'nyaman'-mu dsana. Kembalilah angkat senjata jika kau merasa siap dan tak lagi meratap. Selamat hari Jumat. GOD bless you.''

Kali lain, Bu Pengawas Gendut nuturi aku dengan menungguiku lembur hingga larut. Sambil tak berhenti ngomel tentang waktu untuk keluarga, kerja profesional, menghargai orang.

Kadang ia menungguiku lembur sambil diam terpekur. Yang seperti ini, ia menegaskan, ''Aku mengorbankan waktuku buat Sidqi hanya demi kunyuk yang tak becus kerja satu ini.''

Maafkan aku Prince Sidqi. Kukembalikan Bu Pengawas Gendutmu.