Monday, December 20, 2010

Adu Untung


Langit Surabaya pagi ini begitu cerah. Di bawah Tugu Pahlawan yang menjulang, ribuan masyarakat Surabaya berkumpul. Dengan seragam kaos merah putih, mereka memenuhi setiap jengkal lapangan Tugu Pahlawan.

Minggu pagi ini aku bergabung dengan kerumunan orang yang sedang adu untung. Menunggu pengundian kupon dengan tak henti berharap. Semoga nomorku yang disebut.

Apalagi saat Fitri Tropika mulai menyebutkan angka-angka dan bilang, ''Semoga nomor Anda yang terpilih''. Kami tambah berharap.

Oh, voucer itu.., setrika itu.., magicom itu.., kompor gas itu.., TV LCD itu.., duit lima juta itu.., semoga jadi milikku...

Friday, December 17, 2010

Sentilan Zebi Belel


Sebuah boneka belel tiba-tiba bicara dari balik monitor komputer. Suaranya mirip kambing. Tambah aneh lagi karena belang kulitnya mirip zebra, ekornya setebal milik berang-berang, dan berwajah lebar kaya kuda nil.

''Woi, kau sudah bikin sakit hati seorang teman. Sebaiknya kau minta maaf dan cabut kata-katamu kemarin.''

Emang bilang apa aku kemarin?

Tiba-tiba aku teringat perkataan seorang teman di Boyolali. ''Ingat, dengan siapa kau bicara!'' Istilah kerennya, Verstehen: pahami pemahaman orang lain.

Ya, bercandaku keterlaluan. Maafkan aku, Teman...

Terima kasih, Zebi Belel. Semoga sentilanmu menjadi pengingat bagiku...

Sepon Samiler

Pak Sepon yang sederhana dan murah senyum.

Nyambung dengan tulisan beberapa waktu lalu tentang samiler, kali ini aku berkesempatan ngobrol langsung dengan penjualnya.

Pagi itu seorang pria paruh baya duduk di trotoar di Jl. Nginden Intan Raya Surabaya, sambil menunggui samiler dagangannya. Di kepalanya, sebuah caping gunung bertengger, melindungi si empunya dari panas dan hujan. Mungkin caping ini telah menemaninya sejak lama. Beberapa lubang menghias di beberapa bagian.

Sepon, nama pria itu. Dari Wantilgung Ngawen Blora asalnya. Anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayah dari tiga orang anak lulusan SD yang terpaksa tidak lanjut karena terbatas biaya.

Sepon sudah dua tahun berdagang samiler. Sebelumnya, dia narik becak di Lamongan. ''Jualan samiler lebih ringan dan mudah,'' katanya. Walau begitu narik becak tidak dia tinggalkan begitu saja.

Dua tahun jualan samiler telah memberi Sepon banyak pengalaman. Setahun lalu dia ikut temannya berjualan di Kota Malang. Namun tubuh tuanya berontak. Dinginnya malam Kota Malang tembus hingga tulang. ''Saya nggak kuat, ya sudah balik lagi ke Surabaya,'' ujar Sepon.

Pedagang samiler dari Wantilgung merambah hingga ibukota dan daerah-daerah sepanjang Jalur Pantura. Sepon bilang untuk mencapai 'daerah operasi' mereka menumpang truk dan kereta.

Samiler telah menghidupi warga kampung Sepon. Singkong hasil tani, produksi samiler, distribusi, hingga pemasaran. Semua dilakukan warga Wantilgung. Bahkan permintaan samiler yang tinggi mengharuskan Wantilgung mengimpor bertruk-truk singkong dari daerah lain.

Sayangnya samiler produksi Wantilgung tak bermerek. Hanya dibungkus plastik kresek warna kuning. Dijajakan dengan pikulan bambu. Seandainya saja dikemas dan dibranding dengan profesional. Mungkin merek 'Sepon Samiler' jadi pilihan bagus.

Atau, plastik kuning dan pikulan bambu itulah nyawa samiler. Sederhana dan jelata.

Meja Pingpong itu...


Pengikat bukan melulu berbentuk tali ataupun hukum. Meja pingpong ini misalnya. Sejak diimpor dari Rumah PINTAR awal tahun lalu, sudah tak terhitung lagi berapa, masalah, solusi, pertikaian, strategi, pertempuran, tangis, tawa, tentunya juga bola pingpong pecah, bat patah, yang telah berlalu lalang di meja ini.

Meja ini juga pemecah kebuntuan dan media penkenalan, menjamu tamu, juga penghapus status atasan-bawahan.

Sungguh sebuah meja yang tarberkati...

Monday, December 6, 2010

Kunker? Yumari...


Cerita berikut mungkin bukan konsumsi publik. Terlebih kalangan kelas bawah yang ditakutkan memancing rasa iri. Apalagi warga junior yang belum cukup umur yang bisa berakibat pendewasaan dini.

Kisah ini sepantasnya terjadi beberapa dekade lalu. Di kala baju safari masih begitu agung. Bak zirah yang tak mempan gaman.

Begini...

Rupanya penyakit kunker alias kunjungan kerja yang ditebar para wakil rakyat di pusat juga menjangkiti para pejabat di Desa Jatidiri. Dipimpin langsung oleh Kades Munan, dan diiring oleh para punggawa desa lainnya. Mari kita panggil nama mereka atu-atu... Carik Jemmy, Modin Salim, Bayan Elian, serta tiga tetangga kades yang merengek minta diajak, Debi, Novi, Ary.

Kunker kali ini berlokasi di Mojokerto. Tepatnya di sebuah padepokan terpencil di kaki pegunungan. Tujuannya, nimba ilmu melengkapi separuh agami. Yaitu, Manunggaling Iza-Adji.

Ilmu ini salah satu ilmu tertinggi. Butuh kesiapan spiritual, mental dan jasmani. Kebetulan dari ketujuh kontingen Desa Jatidiri, baru Kades Munan saja yang sudah menguasai... 

Tak lupa sebelum menuju lokasi utama, ada baiknya meniti jejak Sumpah Palapa terlebih dahulu. Trowulan, sebuah petilasan jaman kejayaan Majapahit masa lalu. Di sinilah Mahapatih Gajah Mada menggetarkan bumi dengan janjinya tujuh abad silam. ''Tak akan menikmati kenyaman hidup sebelum menyatukan Nusantara.''

Janji itu begitu digdaya. Sang Maha Pencipta pun mengabulkanya. Bertahun-tahun Gajah Mada mengarungi samudera. Menjelajah hingga negeri manca. Berbagai penakhlukan pun berhasil dilakukan. Dan tercapailah apa yang dicita-citakan.

Dari sini, rombongan Desa Jatidiri memetik dua nilai luhur. Tekat bulat dan usaha maksimal. Tinggal satu tahap untuk mencapai ilmu yang kami tuju.

Segera Kades Munan membawa anak buahnya ke tujuan utama. Untuk menyempurnakan ilmu yang sesungguhnya.

Janji yang menggetarkan Arsy, itulah Ilmu Manunggaling Iza-Adji. Bahwa pernikahan adalah ibadah pada Illahi. Inilah nilai ketiga. Inilah yang membuat Manunggaling Iza-Adji lebih dahsyat dari Sumpah Palapa Gajah Mada.

Hingga akhir perjalanan kunker, Kades Munan masih gamang. Benarkah tiga perangkat desa dan tiga tetangganya akan segera mampu mengamalkan ilmu yang baru saja diturunkan.

Wallahu'alam..bissawab..

Ps:
Paragraf kedua gak nyambung? Biarin, wekk...

Hidup Jagung Bakar!


Hayo.., siapa yang setuju kalo udara dingin dan jagung bakar emang klop...? Aku itungin neh... Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, seribu, sejuta... Oke, semua setuju yak.. enggak ada yang protes yak...(Pak Tarno mode on)

Dan aku rasa Agung dan Sunarti, serta dua anaknya, juga temannya dan para tetangga, orangtua, mertua, pak tani, bu tani, anak tani, juga mengamini polling yang barusan.

Ya, di mana-mana tempat yang berudara dingin, jagung bakar adalah primadona. Maka tak heran jika Agung menekuni profesi sebagai penjual jagung bakar selama dua dekade. ''Sejak masih muda,'' ujar pria 42 tahun ini. Dia memang orang setempat. Sayangnya, sejak dulu ya begini. Nyaris tanpa inovasi.

Kali ini Jejak Pantofel (mulai sekarang kita sepakat memanggil blog kita tercinta: Jefel), mampir di Pacet Mojokerto. Sebuah kawasan wisata air panas di lereng Gunung Arjuno. Yang menawarkan keindahan alam, kolam air panas, air terjun, bumi perkemahan, dan berbagai out bond lainnya. Pacet memang karunia bagi warganya.

Di mana potensi ada, di situ peluang usaha dibuka. Orang-orang seperti Agung banyak yang menggantungkan hidup dari rejeki yang Allah turunkan lewat menjual jagung bakar di lokasi wisata Pacet ini. Walau hasilnya tak seberapa, mereka tetap menjalaninya. ''Yang penting cukup buat makan, dan anak-anak bisa sekolah'' kata Agung singkat.

Kini anak sulung Agung duduk di bangku SMP. Sedang adiknya masih SD. Disiapkan Agung untuk menggantikan posisinya sebagai pengusaha jagung bakar. Harapannya, agar lebih maju dan inovatif.

Mari kita buktikan saja di masa datang.

Ps:
Kalo mau tahu yang sekarang, supaya kelak bisa membandingkan, datang saja ke Pacet.
Ntar kalo udah masuk komplek wisata pemandian air panas, terus saja sampe ngelewatin jembatan kecil. Dari situ warung Agung ada di kiri jalan, urutan ke 16 kalo gak salah itung. Kalo gak nemu, tanya aja peta berjalan versi gunung (kali ini bukan abang becak tentunya, bisa gempor narik becak di gunung). Siapa lagi kalo bukan para tetangga Agung. Secara orang gunung getoh, warga sekecamatan juga hafal.

Salam.

Thursday, December 2, 2010

Onde...onde....


Sungguh, Saudara-saudara. Suatu kehormatan bagi saya bisa menikmati makanan tradisional khas Mojokerto ini. Sebutir onde-onde yang dahsyat. Ukuran boleh kecil. Tapi, begitu tahu rasanya, ketagihaaaannn...

Perut saya, dengan percaya diri tapi tidak sombong, saya akui memang lapar. Tapi sungguh, Saudara, saya tidak sedang berhalusinasi.

Kulitnya berwarna cerah, dari tepung ketan pilihan, kenyal, tipis, lembut. Hanya tangan terampil yang mampu membuat adonan sekalis ini.

Diisi kacang hijau yang manis, gurih, juga lembut. Komposisi takaran yang pas antara kacang hijau pegunungan dan gula tebu pilihan. Direbus dalam temperatur dan tempo yang teratur. Kemudian ditumbuk hingga lembut dengan penuh perhitungan.

Dan diselimuti taburan wijen tua kualitas ekspor, yang gurih. Dengan sensasi gemas saat gigi menggilas butir-butir wijen.

Tanpa sadar saya meniru cengkok dan intonasi Didin Boneng dalam salah satu film Warkop DKI, dan berucap, ''Onde...onde....''

Perfecto...

Rambu Anarkhi


Suatu pagi aku menemui ada yang baru di depan gang. Lorong sempit yang sudah hampir lima tahun kulewati tiap waktu. Kedung Pengkol VI Surabaya. Di mana itu? Hanya Tuhan dan Mozad yang tahu. Ada sebuah tanda. Huruf P dipalang merah. Anak TK juga tahu artinya. Nggak spesial banget ya?

Tapi... (Tapi kenapa?)

Lain kali akan kupasang tanda, PP dipalang merah, di sebelah rambu lama. Lho kok? Artinya bukan ''Pamong Praja dilarang'' lho ini, tapi ''Dilarang Paku Pohon''

Enak benar bikin rambu tinggal tancepin di pohon. Bukan sok cinta pohon (Trus apa?). Kalo pohonnya mati, rugi sendiri, kan. Padahal tiga tahun lalu tuh pohon kita juga yang tanam.

Emang sih, mungkin tujuannya baik. Supaya orang-orang enggak parkir sembarangan di gang sempit ini. Tapi kalo caranya salah...

Dasar rambu anarkhi!!!

Samiler

Menikmati samiler, kapan saja, di mana saja...

Atau oleh orang Gunung Kidul Jogja, disebut juga sermier. Ada juga yang menamakannya sadariah atau opak. Panganan desa konsumsi kelas jelata. Bahannya pun sederhana, singkong.

Di Surabaya banyak dijumpai samiler ini dijajakan dengan pikulan. Para penjualnya pun bisa dibilang orang-orang tua. Yang sudah menggeluti profesi ini sejak muda.

Bicara samiler adalah bicara para survivor. Mereka datang dari pelosok desa di Blora Jawa Tengah. Memikul dua kantung plastik raksasa penuh dengan samiler siap jual. Dengan menaiki kereta, mereka menuju Surabaya. Misi mereka satu, adalah secepat mungkin menghabiskan dagangan, lalu pulang. Membawa rejeki untuk nafkahi keluarga.

Namun waktu untuk menghabiskan dagangan tak cukup dua tiga hari. Bisa seminggu bahkan dua minggu. Tergantung rejeki. Yang penting banyak doa. Karena hanya Tuhan yang tahu.

Lalu di mana mereka beristirahat jika malam tiba? Jawabannya, di sarung dan kaos kaki. Soal tempat bisa di mana saja. Asal tak kena hujan, obrakan dan dipalak preman, emperan toko pun jadi. Tidur nyenyak menghimpun tenaga. Esoknya melanjutkan misi.

Bicara samiler juga mengingatkanku pada seorang teman. Samin Subeki. Pria kerempeng berkulit pucat asal Blora, teman serumahku dulu. Yang mengisi libur sekolah dan kuliah dengan memikul samiler. Kini sudah jadi PNS dia. Meninggalkan hidup sebagai penjaja samiler.

Walau telah jadi abdi negara, semoga semangat samiler terus mengalir di darahmu, Kawan... Sederhana dan merakyat...

Salam.

Wednesday, November 24, 2010

Lagi-lagi ''Nyabu''

Adalah tugas ibu-ibu korban Merapi untuk membagi jatah bubur tiap pagi

Pagi ini, insyaallah, terakhir kali nyabu alias sarapan bubur. Setelah jumatan nanti siang, keenam puluh pengungsi yang masih tersisa di halaman kantor DPRD Boyolali, akan kembali pulang. Tiga Jumat sudah waktu mereka dihabiskan di halaman gedung wakil rakyat.

Uang sudah menipis. Energi pun hampir habis. Walau di rumah sudah tak ada lagi yang dikais. Asal sudah di tanah sendiri, tak ada lagi yang bikin nangis.

Mereka adalah warga Desa Samiran, Suroteleng, Jombong, Bulurejo, Kecamatan Selo. Sebelumnya ada 400-an pengungsi berjejalan di sini. Sebagian besar nekat pulang. Padahal Gunung Merapi masih berstatus 'AWAS'.

''Sampun mboten tahan pengen ningali kahanan,'' ujar Mbah Mulyo warga Desa Samiran. Dia merasa tidak tenang menggantungkan nasib pada orang lain. Memang tampak demikian adanya. Di pengungsian, mereka merasa hanya menunggu saat makan sambil melamun. ''Nunggu dicadong bantuan,'' ungkap Samirah warga Jombong.

Seperti halnya bubur yang menjadi menu sarapan tiap pagi. Adalah bantuan pribadi dari seorang dermawan.

Tegarlah saudara-saudaraku korban letusan Merapi... 

Wednesday, November 17, 2010

Delapan Suap


Di sudut Gang Sragen Manggis, di depan rumah dinas bupati Sragen, sebuah depot soto daging sapi berdiri. Pelanggannya kelas menengah. Buktinya, mobil-mobil berbagai merek silih berganti memenuhi parkiran. Kaya apa sih sotonya?

Mangkuk kecil ukuran sekitar 300 ml berisi nasi, disiram kuah soto lengkap dengan empat cuil daging, ditaburi daun sledri dan bawang merah goreng.

Aku sengaja ngetes, mengitung sejak sendokan pertama. Ini diakibatkan oleh ketidakyakinanku bahwa soto ini mampu menganyangkan perut. Hasilnya, delapan suap, soto pun amblas...

Cewek Terminal Madiun


Pembawaannya lemah lembut. Senantiasa menyapa siapa saja yang lewat. ''Sarapan, Mas. Mampir, Mbak,'' Suaranya ramah.

Mbok Juminem sudah lima tahun jualan di Terminal Purbaya Madiun. ''Ya sejak dibangunnya terminal ini,'' katanya.

Pagi ini aku merasa beruntung. Dipertemukan dengan perempuan bersahaja ini. Senang bisa menyaksikan betapa Mbok Juminem menjadi rujukan para ojek, sopir dan abang becak untuk mengisi perut kosong.

Jam tiga pagi Mbok Juminem sudah sibuk di warungnya. Setiap gorengan yang matang selalu habis disambar pelanggan. Dengan telaten Mbok Juminem melayani setiap pembeli. Sesekali dia berdiri dari kursi nyamannya dekat penggorengan. Menyiapkan kopi atau teh yang dipesan.

''Kopi siji, tempe papat,'' kata seorang pembeli dengan suara keras. Mbok Juminem pun menghampiri dan mengambil selembar lima ribuan yang diulurkan. Maklum, perempuan 75 tahun ini sudah sudo rungu.

Monday, November 15, 2010

Separuh Terang Fajar


Hewan-hewan malam masih bertahan dengan sisa-sisa tenaganya. Setelah semalaman penuh pasang aksi. Jangkrik masih ngikrik. Kalong masih bercicit. Beluk masih berkukuk. Kodok masih ngorek. Banyak orang masih ngorok. Ayam belum sempat berkokok. Dll.

Tapi alarm HP sudah beteriak kencang. Pekak telingaku. Mataku melek berat. Hoaaahemm... Sebuah kotak kertas warna kuning nangkring di meja lipat antikku. Terang fajar yang kemarin dikasih Bulan masih separuh.

Buat sahur ah...

T.E.C.H.N.O.L.O.G.Y


Nobar alias nonton bareng tak harus melulu bergerombol di satu tempat. Teknologi telah memaksa kata mengubah makna. Seperti hari ini. Saat terpaksa nobar Pacquiao vs Margarito di tempat terpisah. Padahal Ubet Markasan, teman serumahku, janji nonton tinju bersama. Maklum kami berdua kecanduan olahraga keras itu.

Jam menunjukkan pukul 11.30. Beberapa partai tambahan selesai digelar. Sebentar lagi kedua petinju partai utama masuk gelanggang. Tanganku pegang ponsel dan jariku segera menari.

''Senyum Pacquiao masih seperti biasa. Tanpa beban,'' kataku.

''Iyo, Bos.'' jawab Ubet.

Roude pertama pun selesai.

''Roude 1 dia (Pacman) unggul,'' komentarku.

''Setuju, Bos. Mantaaab!'' Ubet mengamini.

Rounde empat pun menjelang.

''Wajah Margarito mengenaskan,'' ujarku.

''Iyo, sobek satu kilo meter. Margarito kukira kuat. Ternyata wis gak ngatasi.'' Ubet menimpali.

''Sabar, Bro. Permainan masih panjang. Tapi memang Pacman lawan sansak hidup.''

''Harusnya wis wayahe lempar handuk putih.''

''Handuk putihnya jadi merah darah. Sedang beli baru. Tokonya jauh.''

''Beli di Indomaret terdekat saja.''

''Wah wis diborong sama lawan Pacquiao terdahulu. Belum sempat kulakan...''

Hampir semua dari 9.999 pukulan petinju asal Filipina itu mendarat dengan selamat di wajah Margarito. Lebam dan berdarah-darah jadinya. Pacquiao pun menang angka mutlak.

''Tahun depan giliranmu lawan Pacman. Besuk kudaftarkan.''

''Aku tak latihan dulu seabad.''

''Yo wis. Tak nulis surat wasiat disik.''

Nobar pun berakhir...

Sunday, November 14, 2010

Siti


Namanya sederhana saja. Duduk di belakang bingkai-bingkai mika dan tabung-tabung tinta. Menunggu setiap anak yang lewat dan mampir untuk mengasah motorik halusnya.

Siti bukan ahli tumbuh kembang anak. Tapi paham betul memperlakukan anak-anak yang mengunjunginya. Sesuai umur dan kemampuannya.

''Anak-anak sekarang pintar. Kalo mewarnai rapi. Tapi tak jarang yang sudah agak besar masih acak-acakan,'' ungkap gadis asli Kranggan ini.

Mewarnai memang asik. Apalagi medianya unik. Bingkai mika berbentuk aneka hewan dan barang. Dengan tinta warna-warni yang jadi bening jika kering. Mirip kaca patri khas Eropa.

Tak hanya anak-anak yang tertarik. Nyatanya aku dan Putri, teman baruku saat jaga stan di Gramedia Delta, ikut mencoba mewarnai. Tak semudah kelihatannya.

Kalau tak percaya temui saja Siti. Cukup dengan Rp 10 ribu, Anda bisa merasakan sensasinya...

Saturday, November 13, 2010

Indonasua...


Kritik sepedas apapun takkan mempan kalau asalnya hanya dari manusia. Tapi jika dari Sang Pemberi Hidup, itu lain cerita.

Ayo lakukan kerja terbaik. Doa terbaik. Baru tawakal. Itu yang terbaik.

Belum Apa-apa...

Angka 26 jika itu sebuah usia, maka udah lebih dari seperempat abad. Manusia telah dikatakan matang.


Sudah menjadi rutinitas selama dua tahun terakhir mengayuh sepeda tiap pagi dan sore hari. Menuju terminal angkudes untuk menyambung perjalanan berangkat dan pulang kerja di kota. Tumirin dengan telaten menempuh 4 km menggowes ria.

Namun pulangnya petang itu, ia akan menemui hal yang berbeda. Yang akan membuatnya ingin pingsan saja. Supaya besuk pagi tinggal lihat hasilnya. Namun ia pria yang kuat. Ia tak akan melewatkan saat-saat menegangkan ini sedetik pun.

Malam itu, waktu menjelang isya begitu lama. Tumirin muda usia 26 tahun tampak cemas. Bolak-balik antara rumah dan langgar (gazebo tempat sholat yang biasa dipakai berjamaah warga beberapa rumah). Kejutan kali ini seperti tahun lalu... Tumirin mengenang masa kelam itu.

Eko Sukmawan, bayi mungil putra pertamanya lahir. Seluruh keluarga besar menyambut gembira. Sampai akhirnya kegembiraan itu dipungkasi dengan berita duka. Hanya seminggu Eko Sukmawan menyapa dunia. Meninggalkan tangis dan tawa... Kilas balik kelabu itu meninggalkan jejak yang sulit terhapus waktu.

''Jangan timpakan cobaan yang tak bisa kusangga, ya Allah,'' hati Tumirin menjerit, memohon.

Tak lama kemudian, suara lirih dari balik kelambu memanggilnya. ''Mas, kemarilah...'' Sungguh, itu suara yang sanggup melelehkan hati Tumirin. Segera didatanginya panggilan itu.

Sebuah bilik berdinding papan kayu ukir, sisa kejayaan keluarganya. Di sana telah menunggu perempuan tua berselendang, juga perempuan muda yang terkulai di atas ranjang tikar pandan. Dukun bayi dan istri tercintanya, Maryam. Keringat mengalir deras, membasahi keduanya.

''Aku di sini, Sayang. Kuatlah...,'' kata Tumirin sambil membelai rambut Maryam yang kini bersandar di dadanya. Tumirin tak sanggup membendung air matanya. Laki-laki dengan kumis dan janggut tebal ini tak lagi sangar.


Setengah jam kemudian perjuangan istrinya bertaruh nyawa pun usai. Bayi laki mungil telah lahir. Bobotnya tak lebih dari 2,7 kilo gram. panjangnyapun tak sampai 45 centi meter.

Dinamainya pengembara baru itu, Ary Sulistyo.

***

26 tahun kemudian pengembaraan Ary Sang Putra Tumirin belum juga purna. Bahkan ujung perjalan belum tampak di kaki horison.

''Semua ini baru dimulai. Kerja belum selesai. Belum apa-apa...''

Thursday, November 11, 2010

Cidro Janji


-Om Elid lagi ganti roda Si Hitam-


Halaman ini kudedikasikan untuk orang-orang berjiwa besar, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Yang akan selalu melakukan sesuatu dengan cara dan kemampuan terbaik, dan sedikit mengeluh.

Juga terutama untuk para pelupa dan pemalas macam saya. Yang sering bekerja sekedarnya dan tak jarang menganggap enteng sebuah janji.

Wasi Sosiandana, seorang pria sederhana yang juga bapak dari sepuluh anak, pernah bilang, ''Apa yang menjadi pedoman hidup kalau bukan Quran yang Allah turunkan.'' Yang menjadi rujukan segala masalah. Sebagai contoh bagi umat manusia adalah Muhammad Rasulullah.

Dan mengapa Muhammad yang terpilih menjadi mesiah?

Al Amin, itulah gelar yang disandangkan masyarakat pada sang terpilih. Ya, Allah hanya akan memilih orang yang dapat dipercaya untuk menyampaikan manual book kehidupan, Al Quran.

Ya, Allah memilih Muhammad karena masyarakat mempercayai apa yang Muhammad omongkan.

''Apa yang bisa dipegang dari seseorang kalau bukan omongannya.'' Tanya Om Elid suatu ketika. Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku hilang muka.

Aku ingin jadi umat Muhammad. Tapi tak segera mencontoh perilakunya. Tak segera menaati perintah Tuhan yang disampaikan melaluinya.

Untuk ke sekian kali, lagi-lagi aku cidro janji.

Wednesday, November 10, 2010

Rumput Hias

Rumput hias ini sebenarnya rumput biasa, namun dilihat dengan cara yang tak biasa.


Tampak seperti di mana... gitu. Terserah Anda mau membayangkan apa dan di mana. Yang jelas, pemandangan indah ini hanya tapak oleh keluarga belalang atau ulat yang bertapa untuk jadi kupu-kupu.

Kenapa begitu? Karena cara pandang manusia mempersempit makna. Akan melihat rumput ini hanya sebagai gulma. Tanaman pengganggu yang harus dienyahkan.

Berbeda dengan belalang dan ulat. Bagi mereka, inilah kesempatan mereka mengulur umur. Daun hijau lengkap dengan bening tetes embun, adalah secuil surga yang Tuhan turunkan untuk mereka.

Sayang, manusia makhluk egois. Seperti aku sendiri, yang hampir saja mencabuti rumput-rumput di depan rumahku ini. Untung aku segera mengurungkan niat. Sebenarnya lebih karena malas. Tapi supaya lebih berkesan cinta alam, kubuat saja alasan:

Ini rumput bukan sembarang rumput. Inilah Rumput Hias. Tempat hidup keluarga belalang dan kupu-kupu.

Hari Pahlawan Kesiangan



Hujan deras mengawali pagi ini. Cukup 15 menit saja air langit itu diguyurkan. Kemudian cerah pun menyambut. Indah nian perjalanan berangkat kerja kali ini. Sinar sang surya memantul di aspal basah. Menghangatkan bumi manusia.

07.05 WIB, belalang tempurku sudah nangkring di parkiran LMI. Ini rekor paling pagi kedatanganku untuk setahun terakhir. Luar biasa, semangatku meluap. Hari ini 10 Nopember, Hari Pahlawan, Bung!

Samar-samar suara Bung Tomo terngiang memekikkan nama Tuhan. Membahana, membakar semangat Arek-arek Suroboyo. Siap menumpahkan darah. Demi tegak berkibarnya Sang Merah Putih.

''Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar...!''

Tiba-tiba lamunanku buyar. Belum sempat turun dari motor, kulihat seorang nenek berjalan tertatih. Sebuah keranjang penuh botol-botol jamu membebani punggungnya. Seolah dia bilang padaku, ''Thole, bangun! Sudah siang. Jangan ngalamun saja. Negeri ini butuh semangat muda.''

Hik, malu aku. Datang jam 07.05 saja bangga...

Tuesday, November 9, 2010

Kisah Si Pus (2)


Taksiranku usianya belum sampai tiga minggu. Masih terlalu muda untuk hidup sendiri. Masih sangat butuh sosok ibu untuk ngemong. Tapi entah apa yang telah terjadi, Si Pus kecil ini sejak kemarin wara-wiri sendiri.

Kuatlah, Pus. Yakinlah masa depanmu cerah. Kau akan jadi kucing gagah yang bikin histeris para betina.

Nocturno

Para manusia nocturnal

Pola terbalik ini tentu bersemangatkan sebuah peluang, dan pemenuhan kebutuhan.

Kata asing yang waktu masih SD sering kukutip. Awalnya aku membacanya di badan bus saat diajak bapak lewat jalanan kota. Akhirnya, kata ''nocturno'' ini, dari badan bus mampir di lembar-lembar buku catatan. Maklum, istilah asing terasa lebih keren. Walau tak tahu arti dari kata asing itu.

Kali ini, ''nocturno'' kembali mampir dalam catatanku di halaman ini. Dan masih tetap keren. Sekarang aku tahu apa arti kata ini. Guru biologi menyebut beberapa hewan yang aktif di malam hari sebagai hewan nokturnal.

Manusia makhluk yang rumit. Kompleks maksudnya. Mampu memilih -atau bisa saja terpaksa- aktif di malam hari. Padahal pada umumnya manusia aktif di siang hari.

Pola terbalik ini tentu bersemangatkan sebuah peluang, dan pemenuhan kebutuhan. Seperti yang dilakukan bapak sopir atau ibu penjaga warung. Mereka sebagai pihak penyedia alat pemuas kebutuhan atas permintaan yang selalu saja hadir. Dan kembali lagi, jika permintaan tinggi, kebutuhan pak sopir dan ibu penjaga warung terpenuhi. Tak peduli harus menjadi manusia nokturno.

Namanya juga manusia...

Saraso Mudo...!


Genap 26 tahun usiaku 12 Nopember ini. Insyaallah, aku laki-laki baik-baik. Kata ibu, aku bocah paling ganteng. Setidaknya sebelum adik bungsuku lahir. He..he... Dia juga laki-laki. Jadi, mungkin ibu kini tidak memakai kata 'paling' ada maksud tertentu. Supaya jika menyebut anaknya yang ganteng bukan berarti satu-satunya.

Selain itu aku adalah penyuka petualangan. Aku juga suka masak, walau tak menguasai betul menu spesial.

Dunia desain juga kubiarkan dengan senang hati, menyita konsentrasiku. Walau tak ada nyambungnya dengan bidang ilmu yang kudalami, tapi aku adalah anak bapakku. Anak seorang tukang gambar dengan presisi yang tepat lengkap dengan itungan rumit.

Musik pun telah mewarnai hari-hariku. Menurutku musik mampu mewakili setiap ekspresi.

Dengan segala fakta yang kuungkap, aku hanya ingin memastikan bahwa aku sehat. Dan aku cuma ingin bilang, Joy n' The Rhythm System telah menyerobot masuk mengisi ruang sesak dalam otakku. Sungguh, saudara-saudara, ''Dengar Jiwa''-nya Joy n' The Rhythm System telah mengiang di gendang telinga.

Menyaksikan mereka manggung di The 2nd Indie Clothing Expo yang digelar Dyandra Promosindo, pada 5-7 Nop lalu, bersama anak-anak abu putih, membuatku serasa muda.

Friday, November 5, 2010

Tahu Campur Apa?

Cak Minto, dengan rambut kliwirnya yang khas, sedang beraksi melayani pelanggan


Baru dibilang saja, terdengar aneh. Tahu campur..... Campur apa? Nama yang aneh. Belum selesai sudah berhenti. Mungkin saja penemunya dulu belum sempat sebut nama belakang dari menu kuliner khas Lamongan ini, keburu dikeroyok pelanggan.

Nah, begitu hidangan ini hadir di meja, keanehan makin menjadi. Mana tahunya? Tunggu, masakan ini apa namanya tadi? Kali aja salah dengar atau salah baca...

Bener kok, namanya emang tahu campur. Tahu Campur Cak Minto....

Baru setelah dibolak-balik, tuh tahu yang dicari nongol. Empat cuil kecil tahu terselip di antara bongkahan-bongkahan daging sapi dan lembaran daun selada. Selain itu, juga tak ketinggalan kecambah, lentho, serta kuah kental penuh rempah.

Tak lama berselang, sendok dan garpu berperang. Duel maut berebut cepat memasukkan tahu campur ..... ke mulut.

Uenak... tenan... Tak heran kalau sang penemunya dulu tak sempat menyebut nama belakang si tahu campur ..... Keburu pelanggan seperti saya pesan untuk porsi ke dua...

Cak Minto pun hingga kini tak pernah tahu nama belakang dagangan yang dijualnya. Walau warungnya terkanal hingga manca, sepertinya ia masih saja berkeras menemukannya. Lihat saja rambutnya tumbuh tak terlalu subur di kepala bagian depan. Padahal bagian belakang gondrong sepunggung. Lebih parah lagi, anaknya yang masih balita juga harus berpikir keras memutar otak membantu mengobati rasa penasaran bapaknya. Akibatnya rambutnya mengalami hal sama dengan sang bapak.

Selamat berjuang, Cak Minto dan anaknya!

PS:
Bagi siapa saja yang tanpa sengaja membaca tulisan ini, mari kita dukung Cak Minto. Para pustakawan yang barang kali benemukan nama belakang tahu campur ..... Atau arkeolog yang menemukan prasasti tahu campur ..... Segera hubungi Cak Minto di tempat praktiknya di dekat Masjid Al Akbar Surabaya. Kalau kesulitan menemukan warung Cak Minto, sekali lagi, tanyakan pada peta berjalan. Siapa lagi kalau bukan Abang Becak. Salam.

Thursday, November 4, 2010

Kelontong 21


Tak ada yang tak mungkin kini. Abad 21 gitu loh... Tapi sebagai anak desa, untuk ke sekian kalinya aku masih takjub.

Di kampungku di Krambilsawit, sebuah dusun terpencil pedalaman Boyolali, hanya Mbah Sumarni dan Mbah Sukimin yang mampu bersaing dan menjadi rujukan orang sekampung untuk menghabiskan uang belanja. Mereka berdua dengan lihai memainkan peran sebagai penyedia segala kebutuhan.

Mbah Marni dan Mbah Suki adalah pahlawan. Dari gula, garam, kopi, mi instan, minuman ringan, obat batuk, obat pegel, minyak tanah, minyak goreng, rokok, permen, mobil mainan, sarung, mercon, kerupuk, tali pramuka, minyak angin, obak nyamuk, sabun, sampo, body lotion, bedak, lipstik, obat kuat, paku, kawat, es lilin, pembalut wanita, pupuk tanaman, dan semua yang kami butuhkan ada. Hebat ya, Mbah Marni dan Mbah Suki.

Sampai akhirnya aku pergi ke Surabaya, memasuki toko kelontongnya orang kota.

Wow, halamannya luas. Penuh dengan mobil dan motor yang dijaga ketat.

Wuih, barang yang dijual lebih lengkap seribu satu kali lipat.

Weleh-weleh, kasirnya berderet panjang dan pelayannya guanteng dan cuantik. Kayak di TV.

Tapi...

Wedus! Semua-mua muahalnya... Ampun...

Pancen iki Kelontong 21.

Tuesday, November 2, 2010

Kisah Si Pus (1)


Pagi ini Si Belang Putih Oranye terlihat murung. Sepertinya ia tak nyaman dengan perlakuan terbaru dari majikan. Sejak kemarin seutas tali warna biru mengekang lehernya.

''Kucing kok gak bisa diam. Ini barusan ngilang beberapa hari,'' ujar Mak Mi. Ternyata saking sayangnya, sang majikan
tak mengijinkan Si Pus pergi jauh.

Kamu jadilah kucing yang tabah ya, Pus.

Sunday, October 31, 2010

Ganteng Temporer


Nyempil di ujung jembatan di pinggir Jl. Prof. Moestopo Surabaya, Pak Safik pasang aksi. Dengan ketangkasan tangannya, ia memainkan sisir dan gunting di kepala para pelanggan. Bak dedaunan di musim kemarau, rambut pun berguguran.

Pak Safik memang bukan murid Rudy Hadi Suwarno, tapi urusan bikin orang lebih percaya diri dengan gaya rambut terbaru tak perlu diragukan.

Ya, pria usia 40-an tahun ini telah belasan tahun menggeluti profesi pangkas rambut. Tak heran jika banyak mahasiswa FK Unair, yang kebetulan kampusnya dekat situ, mampir ke tempat Pak Safik buka praktik. Apa lagi kalau bukan untuk konsultasi soal gaya rambut.

'Anak-anak FK itu aneh, tidak mau dikerik, kalaupun mau mereka bawa pisau cukur sendiri,' ujar pria berambut putih ini. Maklum, mahasiswa FK tahu betul soal penyakit. Menurut literatur, beberapa penyakit dapat menular lewat pisau cukur yang dipakai bergantian.

Soal rambut Pak Safik yang putih mirip Hatta Rajasa, ada cerita unik. Dulu kutu rambut masih populer. Ia pakai obat kutu. Namun sayang, kutu hilang, rambut terang.

Walau mirip Hatta Rajasa, Pak Safik tak pernah bikin kecewa pelanggan. Tak seperti Pak Menteri itu, yang tak tahu malu walau tugas dan kerjanya kacau melulu.

Salam.

Meja Antik Serbaguna

Meja antik serbaguna

Melihatnya pertama kali, aku kagum. Meja lipat ini terbuat dari satu papan kayu yg dibelah tanpa membuat kedua bagian terlepas. Walau sederhana, aku yakin pengerjaannya tak mudah. Butuh tangan terampil.
Sebenarnya hampir di semua daerah ada meja macam ini. Biasanya dipakai untuk meja ngaji di masjid, musholla, pondok pesantren, atau di rumah. Seperti meja lipat yang kubeli di Pekalongan ini. Bedanya, meja yang telah kupunya lebih lima tahun ini tak hanya untuk ngaji. Bisa untuk meja makan, baca novel, kalo ngantuk bìsa jaga untuk bantal.

Serbaguna ya meja lipat dari kayu jati ini. Anda bisa memilikinya hanya dengan Rp 20.000,-. Silakan beli sendiri di perempatan gang di pinggiran Pekalongan. Tepatnya aku lupa. Kalo penasaran, tanya saja tukang becak. Selamat berjuang. Salam.

Kalo tak sabar mencari sendiri, pesan di sini juga boleh. Hubungi Ary Sulistyo: ar_reto@yahoo.co.id

Thursday, October 28, 2010

Wednesday, October 27, 2010

Acakadut




Ruangan yang rapi dapat memberi kesan elegan dan profesional. Tapi yg acakadut kayak gini juga bisa berkesan bersemangat dan alami. Bagaimana pendapat Anda?